kesehatan mental
A. Konsep Dasar Sehat dan Sakit
Sehat dan sakit merupakan keadaan biopsikososial yang inheren dalam kehidupan manusia. Pengenalan manusia terhadap kedua konsep tersebut memungkinkan pengenalan secara utuh terhadap kondisi dirinya (Notosoedirdjo & Latipun, 2007). Konsep sehat dan sakit pada dasarnya merupakn konsep yang universal dan kedua jargon tersebut telah menjadi bagian yang integratif dalam dinamika kehidupan kita. Aksentuasi pada permasalahan ini adalah menentukan batasan sehat dan sakit bagi individu. Penentuan batas sehat dan sakit merupakan sesuatu yang cukup kompleks, mengingat paradigma sehat dan sakit tidak dapat dilepaskan dari beberapa faktor, misalnya faktor psikologis, sosial, dan budaya serta tata nilai setempat.
Salah satu acuan untuk memahami konsep tentang sehat adalah definisi dari World Health Organization (WHO). WHO merumuskan sehat (health) sebagai keadaan yang paripurna, baik fisik, mental, maupun sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan (cacat). Dalam definisi tersebut, sehat tidak terbatas pada terbebasnya individu dari penyakit, melainkan lebih dari itu, individu harus memiliki keadaan yang sempurna, secara fisik, mental, maupun sosial (Notosoedirdjo & Latipun, 2007).
Selain sehat, ada juga konsep tentang sakit. Sakit dalam bahasa Inggris diungkap dalam 3 istilah berbeda, yaitu disease, illness, dan sickness. Ketiga istilah tersebut mencerminkan bahwa sakit mengandung tiga pengertian dalam kerangka dimensi biologis, psikologis, dan sosial (biopsikososial). Secara khusus, disease berdimensi biologis, illness berdimensi psikologis, dan sickness berdimensi sosiologis (Calhoun, dkk., dalam Notosoedirdjo & Latipun, 2007).
Disease (penyakit) berarti suatu penyimpangan yang simptomnya diketahui melalui diagnosis, berdimensi biologis dan objektif, serta bersifat independen dari pertimbangan-pertimbangan psikososial. Illness (sakit/nyeri) merupakan konsep psikologis yang menunjuk pada perasaan, persepsi, atau pengalaman subjektif seseorang tentang ketidaksehatannya atau keadaan tubuh yang dirasakan tidak nyaman. Karena bersifat subjektif, maka tidak menutup kemungkinan sakit (nyeri) yang dirasakan individu tersebut juga dirasakan sebagai sakit (nyeri) oleh individu lain. Sickness (kesakitan) merupakan konsep sosiologis yang bermakna sebagai penerimaan sosial terhadap seseorang sebagai orang yang sedang mengalami kesakitan. Dalam keadaan sickness demikian, individu dibenarkan melepaskan tanggung jawab, peran, maupun kebiasaan-kebiasaan tertentu yang dilakukan saat sehat karena adanya kondisi ketidaksehatan tersebut. Kesakitan dalam konsep sosiologis ini menyangkut peran khusus individu sehubungan dengan perasaan kesakitan tersebut sekaligus mencari tanggung jawab baru, yaitu upaya penyembuhan.
Lyttle & Pacther (Notosoedirdjo & Latipun, 2007) mengemukakan bahwa peran sakit hanya dilakukan dan diakui oleh masyarakatnya jika kondisi tersebut paralel dengan paradigma dan tata nilai yang berlaku. Selain itu, justifikasi sakit juga sangat tergantung dengan keyakinan lokal dan norma sosial serta keagamaan yang dianut oleh masyarakat setempat. Hal tersebut juga berlaku untuk jenis gangguan mental (mental illness).
Meski pengertian sakit bersifat relatif, pada dasarnya dapat ditemukan beberapa definisi operasional tentang sakit. Lyttle (Notosoedirdjo & Latipun, 2007) mengemukakan bahwa sakit merupakan kondisi yang ditandai dengan adanya gangguan atau kehilangan fungsi dan dapat merupakan keadaan yang berada dalam rentangan ketidaksenangan hingga ketidakcakapan atau ketidakmampuan serta mati.
B. Konsep Dasar Kesehatan Mental (Mental Hygiene)
1. Definisi Kesehatan Mental
Kesehatan mental dalam terminologi psikologi sering disebut dengan mental hygiene, meski dalam aplikasinya sering pula disamakan dengan psychological medicine, nervous health, dan mental health. Meski memiliki maksud yang sama, namun substansi dari keempat istilah tersebut berbeda. Mental health, meski dalam terminologi bahasa Indonesia berarti kesehatan mental, namun substansinya berbeda dengan mental hygiene, karena mental health berarti keadaan jiwa yang sehat dan bersifat statis, sedangkan mental hygiene bersifat dinamis dan ditunjukkan dengan adanya usaha peningkatan kualitas kesehatan mental melalui intervensi tertentu. Pun demikian, mental health cenderung lebih populer dan diaplikasikan secara massif, termasuk oleh WHO sendiri (Notosoedirdjo & Latipun, 2007).
Kartono & Andari (1989) berpendapat bahwa mental hygiene tidak hanya dapat diartikan sebagai kesehatan mental belaka. Lebih jauh, menurut Kartono & Andari, mental hygiene adalah ilmu pengetahuan tentang kesehatan mental. Mental hygiene merupakan ilmu yang mempelajari masalah kesehatan mental, bertujuan untuk mencegah timbulnya gangguan atau penyakit mental, penyembuhan penyakit mental, serta memajukan kesehatan jiwa secara komprehensif. Dengan demikian, maka mental hygiene menggambarkan adanya usaha untuk mendapatkan:
a. Keseimbangan jiwa;
b. Menegakkan kepribadian yang terintegrasi dengan baik; dan
c. Mampu memecahkan segal kesulitan hidup dengan kepercayaan diri dan keberanian.
Wiramihardja (2004) mengemukakan bahwa kesehatan mental merupakan kondisi mental yang tumbuh dan berkembang dan didasari motivasi yang kuat untuk meraih kualitas diri yang lebih baik dalam berbagai dimensi kehidupan. Michael dan Kirk Patrick (Notosoedirdjo & Latipun, 2007) mengemukakan bahwa kesehatan mental adalah kondisi dimana mental individu terbebas dari gejala psikiatris dan individu tersebut berfungsi secara optimal dalam lingkungan sosialnya.
World Federation for Mental Health, dalam konvensi tahun 1948 di London merumuskan definisi kesehatan mental sebagai suatu kondisi yang optimal dari aspek intelektual, yaitu siap untuk digunakan, dari aspek emosional yang mantap atau stabil, sehingga perilakunya tidak mudah tergoncang oleh situasi yang berubah di lingkungannya, tidak hanya bebas dari gangguan kejiwaan, sepanjang tidak mengganggu lingkungannya (Wiramihardja, 2004).
Definisi kesehatan mental juga diungkap oleh beberapa ahli, yaitu:
a. Karl Menninger (Wiramihardja, 2004), seorang psikiater mendefinisikan kesehatan mental sebagai penyesuaian (adjusment) manusia terhadap lingkungan sekitarnya dan dengan orang-orang lain dengan keefektifan dan kebahagiaan optimal. Dalam mental yang sehat terdapat kemampuan untuk memelihara watak, inteligensi yang siap digunakan, perilaku yang dipertimbangkan secara sosial, dan disposisi yang bahagia.
b. HB. English (Wiramihardja, 2004) mengemukakan bahwa kesehatan mental adalah keadaan yang secara relatif menetap dimana seseorang dapat menyesuaikan diri dengan baik, memiliki semangat hidup yang tinggi dan terpelihara, dan berusaha mencapai aktualisasi diri atau realisasi diri yang optimal.
c. Killander (Wiramihardja, 2004) mengemukakan bahwa kesehatan mental merupakan keadaan yang ditunjukkan dengan kematangan secara emosional, kemampuan menerima realitas, kesenangan hidup bersama orang lain, dan memiliki filsafat atau pegangan hidup dalam masa-masa sulit dalam hidupnya.
d. Coleman dan Broen Jr (Wiramihardja, 2004) mengemukakan bahwa ada enam sifat orang yang dikatakan sehat mental, yaitu:
1). Sikap terhadap diri sendiri yang positif (positive attitude toward self), menekankan pada penerimaan diri (self-acceptance), identitas yang adekuat, dan apresiasi realistik terhadap kelebihan dan kekurangan diri sendiri.
2). Persepsi atas realitas (perception of reality), yaitu suatu pandangan yang realistik atas diri sendiri dan dunia serta lingkungan sekitarnya.
3). Keutuhan (integration), yaitu kesatuan dari kepribadian, kemampuan menghadapi konflik dalam diri (inner conflict), serta toleransi yang baik terhadap stres.
4). Kompetensi, yaitu adanya perkembangan kompetensi, baik fisik, emosional, dan sosial untuk menanggulangi masalah kehidupan. Kompetensi mengandung keterampilan, pengetahuan, sikap, dan perilaku yang sesuai dan adekuat.
5). Otonomi, yaitu keyakinan diri, rasa tanggung jawab, dan pengaturan diri (self-control) yang adekuat, bersama-sama dengan kemandirian dalam konteks pengaruh sosial.
6). Pertumbuhan atau aktualisasi diri yang menekankan pada kecenderungan terhadap kematangan yang meningkat, perkembangan potensialitas, dan kepuasan sebagai pribadi.
2. Karakteristik kesehatan mental
Schneiders (1964) mengemukakan bahwa kesehatan mental memiliki beberapa karakteristik khusus, yaitu:
a. Adequate contact with reality (interaksi yang adekuat dengan lingkungan)
Interaksi dengan lingkungan merupakan aktualisasi sikap terhadap lingkungan yang dapat berupa penerimaan realitas, penolakan, dan penghindaran. Individu yang terlalu menekankan diri pada masa lalunya cenderung tidak dapat menerima realitas. Kurangnya orientasi individu terhadap realitas sangat mungkin diasosiasikan dengan maladjusment (kegagalan dalam penyesuaian diri) dan gangguan neurotis. Penyesuaian yang baik dan mental yang sehat membutuhkan kontak yang menyeluruh dengan lingkungan sekitar, yaitu orang-orang, kejadian, dan realitas lainnya.
b. Healthy attitudes (sikap yang sehat)
Sikap yang sehat dalam terminologi psikologi merupakan asumsi (sikap) terhadap pekerjaan, teman, agama, kelompok ras, kematian, dan hal-hal lainnya yang menjadi bagian dari kehidupan individu sehari-hari. Sikap yang sehat lahir dari interaksi secara menyeluruh terhadap lingkungan sekitarnya. Sikap yang sehat berakar dari tata nilai yang dianut individu dan pembentukan sikap yang sehat sangat tergantung pemenuhan tata nilai tersebut.
c. Control of thought and imagination (kontrol terhadap pikiran dan imajinasi)
Kontrol terhadap pemikiran dapat membantu pengembangan sikap yang sehat serta membentuk perspektif yang komprehensif terhadap dunia. Bila kontrol tersebut hilang, maka individu akan mudah terobsesi, kemandegan ide atau gagasan, fobia, pikiran yang tidak terfokus, dan simptom lain yang menunjukkan kepribadian yang neurotik dan psikotik.
d. Mental efficiency (efisiensi mental)
Kontrol terhadap pikiran dan kemampuan mental lainnya merupakan dasar bagi terbentuknya efisiensi mental. Kemampuan untuk mendayagunakan berbagai faktor mental, seperti inteligensi, kekuasaan, dan ingatan secara efektif mendukung terciptanya stabilitas mental. Gangguan-gangguan emosional seperti pada individu yang neurotik atau psikotik merupakan karakteristik dari individu yang kurang efisiensi mentalnya. Dengan demikian, efisiensi mental diasosiasikan dengan stabilitas mental individu.
e. Integration of thought and conduct (integrasi antara pikiran dan perilaku)
Kesenjangan antara apa yang dipikirkan dan apa yang dilakukan tidak mendukung terciptanya stabilitas mental. Kesatuan antara pikiran dan perilaku sangat ditentukan oleh perilaku yang konsisten dan reliabel yang mencakup kesetiaan, kepercayaan, dan kepercayaan diri. Individu yang pembohong, perampok, psikopat, dan pelaku kriminal merupakan pribadi yang utuh dan merupakan karakteristik dari patologi mental.
f. Adequate concept of self (konsep diri yang cukup)
Mental yang sehat membutuhkan konsep diri yang cukup. Individu yang mentalnya sehat melihat sesuatu dari berbagai perspektif dan mempersepsinya secara objektif. Perasaan bahwa individu tersebut serba kekurangan, ketidakberdayaan, atau ketidakamanan tidak mendukung perkembangan mental yang sehat.
Sementara itu, Maslow dan Mittlemenn (Notosoedirdjo & Latipun, 2007) mengemukakan bahwa karakteristik mental yang sehat adalah:
a. Adequate feeling of security, yaitu perasaan individu yang aman dalam menjalin hubungan dengan lingkungan sosialnya.
b. Adequate self-evaluation, yaitu mencakup harga diri yang memadai dan memiliki perasaan bahwa dirinya berguna untuk dirinya dan orang lain
c. Adequate spontanity and emotionality, yaitu kemampuan untuk membentuk ikatan emosional secara kuat dan abadi, memberi ekspresi yang cukup terhadap perasaan ketidaksukaan terhadap sesuatu tanpa kehilangan kontrol, kemampuan memahami dan membagi rasa kepada orang lain.
d. Efficient contact with reality, ditandai dengan tidak adanya fantasi yang berlebihan, mempunyai pandangan yang realistis dan komprehensif terhadap dunia disertai kemampuan menghadapi kesulitan hidup, dan kemampuan penyesuaian diri terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
e. Adequate bodily desires and ability to gratify them, ditandai dengan beberapa hal, yaitu sikap yang sehat terhadap fungsi jasmani, kemampuan memperoleh kenikmatan dari aktivitas-aktivitas fisik, kehidupan sosial yang wajar, kemampuan bekerja, dan tidak adanya kebutuhan yang berlebihan.
f. Adequate self-knowledge, yaitu mengetahui dengan baik dinamika psikologis dalam dirinya serta penilaian yang realistis terhadap kelebihan dan kelemahan dirinya.
g. Integration and consistency of personality, ditandai dengan perkembangan fisik dan psikis yang baik, prinsip moral dan tata nilai yang cenderung sama dengan kelompoknya, mampu berkonsentrasi, serta tidak adanya konflik intra-personal yang dapat mengganggu stabilitas dan perkembangan kejiwaannya.
h. Adequate life goal, yaitu adanya tujuan hidup yang jelas dan realistis, usaha untuk mencapai tujuan tersebut, dan tujuan tersebut baik untuk diri sendiri dan masyarakat.
i. Ability to learn from experience, yaitu alastisitas dan kemauan menerima kenyataan, tidak takut terhadap kegagalan, serta kemampuan untuk belajar secara spontan.
j. Ability to satisfy the requirements of the group, yaitu dapat menyesuaikan diri dengan baik pada kelompoknya, terutama dalam hal tata nilai dan budaya kelompok serta perilaku sosial dalam kelompok.
k. Adequate emancipation from the group or culture, ditandai dengan kemampaun menghargai perbedaan budaya dan paradigma, tidak memanfaatkan orang atau kelompok lain, serta kemampuan menilai secara objektif.
C. Ruang Lingkup Kesehatan Mental
Notosoedirdjo & Latipun (2007) mengemukakan bahwa kalangan ahli kesehatan mental membatasi ruang lingkup kesehatan mental pada dua aspek, yaitu: (a) pemeliharaan dan promosi kesehatan mental individu dan masyarakat dan (b) prevensi dan perawatan terhadap penyakit dan kerusakan mental. Ruang lingkup kesehatan mental tidak hanya mencakup perawatan kesehatan individu (individual health care) tetapi juga pelayanan kesehatan masyarakat (public health care).
Caplan (Notosoedirdjo & Latipun, 2007) mengemukakan bahwa lingkup kerja kesehatan mental mencakup beberapa dimensi sebagai berikut:
1. Promosi kesehatan mental
Promosi kesehatan mental adalah usaha-usaha yang bertujuan untuk peningkatan kesehatan mental, baik individu maupun masyarakat. Usaha demikian berangkat dari asumsi bahwa kesehatan mental ditingkatkan secara optimal, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
2. Prevensi primer
Prevensi primer merupakan usaha kesehatan mental untuk mencegah timbulnya gangguan dan sakit mental. Usaha demikian dilakukan sebagai perlindungan terhadap kesehatan mental individu maupun masyarakat agar gangguan dan sakit mental tersebut tidak terjadi.
3. Prevensi sekunder
Prevensi sekunder adalah usaha kesehatan mental melalui penemuan kasus sedini mungkin (early case detection) dan penyembuhan secara tepat (prompt treatment) terhadap gangguan dan sakit mental. Usaha tersebut dilakukan untuk mengurangi durasi gangguan dan mencegah jangan sampai terjadi cacat pada seseorang atau masyarakat.
4. Prevensi tersier
Prevensi tersier merupakan usaha rehabilitasi awal yang dapat dilakukan terhadap orang yang mengalami gangguan kesehatan mental. Usaha ini bertujuan untuk mencegah disabilitas atau ketidakmampu. an mental yang dapat menjadi kecacatan permanen.
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Mental
Kesehatan mental merupakan entitas yang dipengaruhi oleh beberapa faktor internal maupun eksternal. Kesehatan mental tidak dapat tercapai jika tidak memperhatikan faktor-faktor tersebut, karena secara substantif faktor-faktor tersebut memainkan peran yang signifikan dalam dinamika kesehatan mental.
1. Faktor biologis
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan mental adalah faktor biologis. Faktor biologis ini mencakup beberapa hal, yaitu:
a. Otak
Otak merupakan pusat dari segala aktivitas tubuh, baik aktivitas fisiologik maupun aktivitas psikologis. Otak merupakan pusat keseimbangan, motivasi, afeksi, dan beberapa dimensi lainnya psikologis lainnya.
Perkembangan fisiologis otak sejalan dengan perkembangan mental manusia dan bahwa perkembangan kepribadian manusia sangat dipengaruhi oleh kondisi lima tahun awal. Terjadinya kerusakan pada otak sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental individu. Beberapa jenis gangguan mental yang berhubungan dengan kerusakan otak adalah demensia, epilepsi, general parasis, sindroma Korsakoff, dan sindroma Kluver-Bucy (Notosoedirdjo & Latipun, 2007).
b. Sistem endokrin
Kelenjar endokrin merupakan senyawa kimiawi yang mengeluarkan hormon dan diangkut ke seluruh tubuh. Kelenjar endokrin mencakup tujuh macam kelenjar, yaitu kelenjar pituitari, tiroid, paratiroid, adrenal, gonad, timus, dan pankreas. Gangguan mental yang disebabkan abnormalitas fungsi kelenjar endokrin prevalensinya masih sedikit, akan tetapi hal tersebut perlu mendapat perhatian dan dapat dicegah melalui pengaturan pola makan dan mengaplikasikan pola hidup bersih dan sehat (Notosoedirdjo & Latipun, 2007).
c. Genetik
Faktor genetik merupakan salah satu faktor dalam pewarisan sifat-sifat manusia kepada keturunannya. Riset Gregor Mendel membuktikan bahwa faktor gen sangat berpengaruh terhadap pembantukan sifat dan karakter manusia yang diturunkan dari ayah atau ibunya. Kecenderungan psikosis seperti skizofrenia dan manis-depresif merupakan sakit mental yang diwariskan secara genetis dari induknya. Gangguan mental lain yang bersifat genetis adalah alzheimer, phenylketunurine, huntington, dan adiksi alkohol serta obat-obatan terlarang (Notosoedirdjo & Latipun, 2007).
2. Faktor psikologis
Aspek psikis manusia pada dasarnya merupakan satu kesatuan dengan sistem biologis. Sebagai sub sistem dari eksistensi manusia, aspek psikis senantiasa terlibat dalam dinamika kemanusiaan yang multi aspek. Ada beberapa aspek psikis yang berpengaruh terhadap kesehatan mental, yaitu (Notosoedirdjo & Latipun, 2007):
a. Pengalaman awal
Pengalaman awal merupakan keseluruhan pengalaman maupun kejadian yang dialami seseorang yang mempengaruhi perkembangan dan kesehatan mentalnya. Psikolog bahkan menganggap pengalaman awal sebagai bagian penting dari perkembangan fisik dan mental seseorang dan akan sangat menentukan kondisi dan kesehatan mentalnya di kemudian hari.
b. Proses pembelajaran
Perilaku manusia sebagian besar adalah merupakan produk dari aktivitas belajar melalui pelatihan dan pengalaman sehari-hari. Terdapat tiga saluran belajar, yaitu:
1). Belajar dengan asosiasi (learning by association)
Belajar dengan asosiasi sering diistilahkan dengan classical conditioning yang dikemukakan oleh Ivan Pavlov. Menurut Pavlov, interaksi antara lingkungan dengan individu sangat penting karena dari interaksi tersebut akan mempengaruhi perkembangan dan kematangan kepribadian seseorang. Lebih lanjut, Pavlov mengemukakan bahwa ada dua hal penting yang perlu mendapat perhatian, yaitu organisme selalu berinteraksi dengan lingkungan dan dalam interaksi itu organisme dilengkapi dengan refleks.
2). Belajar dengan konsekuensi (learning by consequencies)
Belajar dengan konsekuensi dikemukakan oleh BF. Skinner. Skinner mengemukakan bahwa lingkungan memainkan peran yang signifikan dalam membentuk kepribadian seseorang melalui mekanisme konsekuensi penyertaan atas perilaku tertentu, yaitu punishment (hukuman) dan reward (hadiah).
3). Belajar dengan mencontoh (learning by modelling)
Konsep belajar dengan mencontoh dikemukakan oleh Albert Bandura melalui teori social learning. Menurut Bandura, anak-anak berperilaku agresif setelah mencontoh perilaku model yang dilihatnya. Kegiatan mencontoh dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung.
c. Kebutuhan
Pemenuhan kebutuhan dapat meningkatkan kesehatan mental seseorang. Individu yang telah mencapai aktualisasi diri (orang yang telah mengeksploitasi segenap kemampuan, bakat, dan keterampilan secara massif) akan mencapai suatu tingkatan yang disebut dengan peak experience. Dalam berbagai studi yang dilakukan oleh Abraham Maslow, ditemukan bahwa orang-orang yang mengalami gangguan mental-khususnya yang menderita neurosis- disebabkan oleh ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Berangkat dari hasil penelitian tersebut Maslow menyimpulkan bahwa gangguan dan penyakit mental-psikosis dan neurosis- merupakan implikasi dari defisiensi (ketidakmampuan memenuhi dan memuaskan) kebutuhan, baik kebutuhan dasar maupun kebutuhan lanjutan (kebutuhan untuk tumbuh kembang).
3. Faktor sosial budaya
a. Stratifikasi sosial
Penelitian yang dilakukan oleh Holingshead dan Redlich (Notosoedirdjo & Latipun, 2007) menemukan bahwa stratifikasi sosial yang ada di masyarakat ternyata berhubungan dengan jenis gangguan mentalnya. Terdapat distribusi gangguan mental secara berbeda antara kelompok masyarakat yang berada pada strata sosial tinggi dengan strata sosial yang rendah. Dalam berbagai studi dipahami bahwa kelompok strata sosial rendah memiliki prevalensi yang lebih tinggi terhadap gangguan psikiatrik dibanding dengan kelompok kelas sosial tinggi (Heller, dalam Notosoedirdjo & Latipun, 2007).
b. Interaksi sosial
Dinamika sosial seperti interaksi sosial banyak dikaji dalam kaitannya dengan gangguan mental. Ada dua pandangan hubungan interaksi sosial dengan gangguan mental. Pertama, teori psikodinamika mengemukakan bahwa individu yang mengalami gangguan emosional dapat berimplikasi pada pengurangan interaksi sosial yang dapat diketahui dari perilaku regresi sebagai akibat dari adanya sakit mental. Kedua, bahwa rendahnya interaksi sosial yang berimplikasi pada gangguan mental.
Faris dan Dunham (Notosoedirdjo & Latipun, 2007) mengemukakan bahwa kualitas interaksi sosial individu sangat mempengaruhi kesehatan mentalnya. Lingkungan kehidupan serta tatanan sosial sedikit banyak mempengaruhi dinamika dan kesehatan mental individu. Dalam berbagai studi terungkap bahwa hubungan interpersonal memiliki implikasi yang signifikan dalam peningkatan kesehatan mental individu.
c. Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan terdkat dengan individu yang berperan besar dalam membentuk karakter serta mempengaruhi perkembangannya, baik secara fisik maupun psikis. Keluarga yang lengkap dan fungsional serta dapat membentuk homeostatis dapat meningkatkan kesehatan mental para anggota keluarganya serta peningkatan resistensi terhadap berbagai gangguan dan penyakit mental.
Dalam pandangan psikodinamika, keluarga merupakan entitas yang secara langsung mempengaruhi pola pikir dan perkembangan psikologis individu. Keluarga merupakan lingkungan mikrosistem yang menentukan kepribadian dan kesehatan mental anak. Dengan demikian, keluarga merupakan lingkungan yang sangat penting dari keseluruhan sistem lingkungan.
E. Penyesuaian Diri (Self-Adjusment)
Schneider (1964) mengemukakan bahwa penyesuaian diri adalah proses yang melibatkan respon mental dan perilaku individu yang berusaha mengatasi masalah-masalah dalam dirinya, seperti kebutuhan-kebutuhan, ketegangan diri, frustrasi, dan konflik-konflik dan untuk menciptakan situasi konformis (selaras) antara kebutuhan-kebutuhan tersebut dengan lingkungan sekitarnya. Kartono dan Andari (1989) mengemukakan bahwa penyesuaian diri (self adjusment) adalah usaha individu untuk mencapai harmoni atau keselarasan pada diri sendiri dan pada lingkungannya, sehingga rasa pernusuhan, dengki, prasangka, depresi, kemarahan, dan emosi negatif lainnya dapat diminimalisir, sehingga dihasilkan pribadi yang sehat, baik secara fisik maupun secara mental.
Lebih lanjut, Kartono dan Andari (1989) mengemukakan bahwa dalam konteks kesehatan mental, penyseuaian diri (adjusment) dapat dijabarkan dalam beberapa perspektif sebagai berikut:
1. Adjusment berarti adaptasi atau penyesuaian diri, yaitu kemampuan untuk dapat mempertahankan eksistensinya dan memperoleh kesejahteraan jasmani dan rohani.
2. Adjusment dapat diartikan sebagai konformitas, yaitu kesesuaian dengan norma-norma hati nurani dan tata nilai sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
3. Adjusment dapat diartikan sebagai penguasaan, yaitu memiliki kemampuan untuk merencanakan, mengorganisir respon-respon sedemikian rupa, sehingga dapat menguasai dan merespon dengan tepat dan efisien segala konflik yang dihadapi, kesulitan-kesulitan hidup, dan rasa frustrasi dalam diri.
4. Adjusment dalam konteks keluarga, yaitu memiliki hubungan interpersonal yang baik dan matang dengan seluruh anggota keluarga.
5. Adjusment sebagai bentuk penyesuaian kultural, yaitu kemampuan menghargi tata nilai, hukum, adat dan kebiasaan, norma sosial, dan entitas kultural lainnya.
Kartono, K. & Andari, J. 1989. Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam. Bandung: Mandar Maju.
Notosoedirdjo, M. & Latipun. 2007. Kesehatan Mental: Konsep dan Penerapan. Malang: UMM Press.
Schneiders, A. A. 1964. Personal Adjusment and Mental Health. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Wiramihardja, S. A. 2004. Pengantar Psikologi Klinis. Bandung: Refika Aditama.