dasar Hukum ekonomi Syariah
1. Landasan syariah
Pada dasarnya, setiap manusia diperintahkan untuk bekerja dan berusaha dalam rangka memperoleh penghidupan yang layak. Kegiatan ekonomi dilakukan dengan prinsip-prinsip tertentu serta sejalan tujuan awal, yaitu mencapai kesejahteraan hidup.
Islam sebagai agama yang sempurna pun tidak hanya mengajarkan kepada umatnya untuk beribadah semata, melainkan juga bekerja untuk memperoleh rezeki dengan cara yang benar menurut aturan syariat. Kegiatan ekonomi bukan semata-mata dilandai oleh motif ekonomi semata, melainkan lebih dari itu, kegiatan ekonomi dalam perspektif ekonomi syariah merupakan wujud perbadatan kepada Allah SWT. Hal tersebut sesuai dengan prinsip ekonomi syariah yang menegaskan bahwa implikasi kegiatan ekonomi bukan hanya dalam konteks duniawi semata, melainkan juga implikasi ukhrawi (ibadah).
Dalam lingkup muamalat, salah satu kaidah yang berlaku adalah al-ashl fil-muâmalat al ibâhah illâ mâ harrama alaih, yaitu asal dari segala aktivitas muamalat adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Kaidah tersebut sering diistilahkan dengan the principle of permissibility. Mengingat bahwa ekonomi dan perdagangan termasuk bidang muamalat, maka semua bentuk transaksi hukumnya boleh, kecuali ada dalil yang jelas-jelas mengharamkannya. Dalam konteks inilah, hukum Islam memegang prinsip terbuka, termasuk dalam perbankan dan lembaga keuangan non bank lainnya.
Penyelenggaraan ekonomi syariah memiliki landasan yang kuat dalam Al Qur’an. Dalam QS Al Nisa ayat 4, Allah SWT berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Ayat tersebut menegaskan bahwa dalam melaksanakan kegiatan muamalah, Setiap individu dilarang untuk saling merugikan, berbuat curang, dan melakukan tindakan penipuan. Penegasan ini merupakan landasan kuat penyelenggaran ekonomi syariah yang sejatinya mengaktualisasikan nilai-nilai kejujuran, integritas, dan prinsip saling menguntungkan.
Zainuddin Ali mengemukakan bahwa dalam ekonomi syariah, harta merupakan amanat dari Allah SWT, karena itu harta tersebut harus diperoleh dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kemashlahatan umat. Dalam konteks ini, Allah SWT berfirman:
Dan Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.
2. Landasan konstitusional
Penyelenggaraan kegiatan usaha berbasis syariah di Indonesia dilandasi oleh fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI mengenai kebolehan melakukan aktivitas usaha berbasis syariah, misalnya perbankan syariah, asuransi, reksadana syariah, obligasi, dan pembiayaan syariah. DSN-MUI adalah lembaga yang dibentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berwenang untuk menetapkan fatwa produk dan jasa dalam kegiatan usaha bank berdasar prinsip syariah. Hingga saat ini, DSN-MUI telah mengeluarkan 53 fatwa mengenai kegiatan ekonomi syariah. Fatwa tersebut antara lain:
a. Fatwa Dewan Syariah Nasional No.01/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Giro,
b. Fatwa Dewan Syariah Nasional No.02/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Tabungan,
c. Fatwa Dewan Syariah Nasional No.03/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Deposito,
d. Fatwa Dewan Syariah Nasional No.04/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Murabahah,
e. Fatwa Dewan Syariah Nasional No.05/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Jual Beli Saham,
f. Fatwa Dewan Syariah Nasional No.06/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Jual Beli Istishna’, dan
g. Fatwa Dewan Syariah Nasional No.07/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Pembiayaan Mudharabah (qiradh) .
Menilik secara historis, kegiatan ekonomi syariah diakui secara yuridis sejak lahirnya UU No.7 Tahun 1992 yang kemudian diubah menjadi UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Undang-undang tersebut merupakan perundangan yang memberikan jalan bagi lembaga perbankan-bank umum dan bank perkreditan rakyat-untuk memberikan layanan pembiayaan berdasar prinsip syariah, yaitu prinsip bagi hasil.
Dalam pasal 6 huruf m ditegaskan bahwa bank umum konvensional dapat menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Bank-bank umum konvensional diizinkan untuk melakukan pembiayaan berdasar prinsip syariah, yaitu bagi hasil. Ketentuan tersebut dilandasi oleh kecenderungan di masyarakat yang menunjukkan peningkatan kebutuhan masyarakat akan pembiayaan perbankan yang sesuai dengan prinsip syariah.
Pasal 13 huruf c UU No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan menyebutkan bahwa Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dapat menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Bank Perkreditan Rakyat merupakan salah satu bentuk usaha bank yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kredit dan pembiayaan tertentu kepada masyarakat. Pasal tersebut memberikan kesempatan bagi BPR untuk melakukan pembiayaan berdasar prinsip syariah sebagai upaya menjawab keinginan masyarakat, khususnya nasabah untuk mengimplementasikan sistem pembiayaan berbasis syariah.
UU No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama secara eksplisit melegitimasi kegiatan usaha berbasis syariah. Bahkan, dalam penjelasan pasal I angka 37 huruf i menegaskan bahwa kegiatan usaha yang termasuk dalam ekonomi syariah meliputi:
a. perbankan syariah,
b. lembaga keuangan mikro syariah,
c. asuransi syariah,
d. reasuransi syariah,
e. reksadana syariah,
f. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah,
g. sekuritas syariah,
h. pembiayaan syariah,
i. pegadaian syariah,
j. dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan
k. bisnis syariah.
Meski undang-undang ini tidak secara khusus mengatur tentang ekonomi syariah, namun klausul pasal 49 dapat dijadikan sebagai dasar penyelenggaraan usaha berbasis syariah.
Pada tanggal 16 Juli 2008, RUU Perbankan Syariah disahkan menjadi UU No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Lahirnya undang-undang tersebut merupakan jawaban dari desakan berbagai pihak yang selama ini menginginkan satu regulasi utuh mengenai perbankan syariah. Selama ini, regulasi perbankan syariah masih diatur dalam UU Perbankan yang tidak secara akumulatif merepresentasikan sistem perbankan syariah nasional. Dengan disahkannya RUU Perbankan Syariah menjadi UU Perbankan Syariah, berarti kini perbankan syariah memiliki payung hukum yang selama ini didambakan.
Hadirnya UU Perbankan Syariah sangat diharapkan dapat makin memacu peningkatan peran dan kontribusi perbankan syariah dalam mengentaskan kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta pembukaan lapangan kerja melalui program sosial. Sedang dari sisi komersial, hadirnya UU Perbankan Syariah diharapkan makin memperkuat pijakan hukum perbankan syariah sehingga bisa setara dengan bank konvensional.Undang-undang ini memuat segala ketentuan tentang perbankan syariah, yaitu:
a. Asas, tujuan, dan fungsi,
b. Perizinan, badan hukum, anggaran dasar, dan kepemilikan,
c. Jenis dan kegiatan usaha, kelayakan penyaluran dana, dan larangan bagi bank syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS),
d. Pemegang saham pengendali, dewan komisaris, dewan pengawas syariah, direksi, dan tenaga kerja asing,
e. Tata kelola, prinsip kehati-hatian, dan pengelolaan risiko perbankan syariah,
f. Rahasia bank,
g. Pembinaan dan pengawasan,
h. Penyelesaian sengketa,
i. Sanksi administratif,
j. Ketentuan pidana, dan
k. Ketentuan peralihan.
Eksistensi UU No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah menjadi landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan kegiatan perbankan syariah. Beberapa poin penting Undang-Undang Perbankan Syariah ini salah satunya adalah memberikan kewenangan pembinaan dan pengawasan perbankan syariah kepada Bank Indonesia. Kewenangan pengawasan dan kepatuhan juga dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang direpresentasikan Dewan Pengawas Syariah yang wajib dibentuk pada masing-masing bank syariah dan unit usaha syariah bank umum konvensional.
Prospek perbankan syariah ke depannya sangat cerah, apalagi mengingat pangsa pasarnya yang sangat besar. Kekuatan yang dimiliki bank syariah sampai akhir 2007, menurut laporan Bank Indonesia adalah tiga bank umum syariah (BUS), 26 unit usaha syariah (UUS), dan 114 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS). Dengan kekuatan ini, perbankan syariah berhasil membukukan 2,8 juta rekening nasabah, sedangkan volume usaha bank syariah hingga akhir 2007 baru mencapai Rp. 36,5 triliun atau sekitar 1,8 persen dari aset perbankan nasional. Sehingga wajar jika kemudian banyak bank-bank konvensional yang membuka cabang syariah secara langsung maupun melalui konversi cabang-cabang.
Dalam konteks operasionalisasi kegiatan penghimpunan dana dan pembiayaan berdasar prinsip syariah, Bank Indonesia mengeluarkan beberapa peraturan menyangkut penyelenggaraan kegiatan usaha tersebut yang termaktub dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI). Beberapa peraturan yang mengatur tentang penyelenggaraan usaha berdasar prinsip syariah adalah:
1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.7/46/PBI/2005 tanggal 14 November 2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi yang Melaksanakan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/Kep/Dir tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah.
3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/36/Kep/Dir tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
Lahirnya UU Perbankan Syariah diharapkan diikuti pula dengan lahirnya undang-undang lain yang mengatur secara tegas mengenai usaha-usaha ekonomi syariah yang lain. Sebagaimana diketahui bahwa penyelenggaraan usaha ekonomi syariah selain perbankan syariah selama ini hanya mengacu pada fatwa DSN-MUI yang kekuatan hukumnya tidak mengikat dan memaksa, karena fatwa dalam konteks hukum Indonesia merupakan aturan yang bebas untuk ditaati atau tidak. Bagaimanapun, jaminan akan kepastian hukum dalam penyelenggaraan usaha berbasis syariah adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat ditunda lagi.
Payung hukum berupa undang-undang sangat dibutuhkan sebagai pedoman dasar dalam penyelenggaraan ekonomi syariah. Progresifitas ekonomi syariah sangat tergantung pada perundang-undangan yang ada, karena dengan demikian maka legalitas ekonomi syariah bukan lagi menjadi persoalan yang menghambat kemajuan ekonomi syariah selama ini.