Penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama
M. Natsir Asnawi
Mah. Fak. Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar
I. Pendahuluan
Peradilan Agama sebagai salah satu lembaga hukum di Indonesia telah eksis seiring dengan perjalanan bangsa dari awal kemerdekaan hingga saat ini. Dalam rentang waktu tersebut, peradilan agama telah melewati rangkaian proses transformasi kelembagaan dalam rangka memperkuat eksistensinya dalam kerangka hukum di Indonesia.
Salah satu pijakan awal yang krusial dalam kemapanan peradilan agama secara kelembagaan adalah kodifikasi peraturan-peraturan tentang peradilan agama ke dalam UU No.7 tahun 1989 mengenai peradilan agama. Dengan kodifikasi tersebut, maka peradilan agama memperoleh pengakuan hukum yang luas sebagai lembaga hukum yang otoritatif dan independen.
Implikasi lebih jauh dari undang-undang tersebut adalah adanya transparansi mengenai yurisdiksi peradilan agama dalam dinamika hukum nasional, sehingga putusan atau ketetapan yang dikeluarkan oleh pengadilan agama memiliki kekuatan hukum yang tetap. Hal inilah yang sesungguhnya mengawali kiprah nyata peradilan agama dalam rangka penegakan supremasi hukum secara massif.
Dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan dinamika sosial-ekonomi masyarakat yang semakin kompleks dan dinamis, kebutuhan akan pemenuhan rasa keadilan semakin menguat, sehingga diperlukan adanya suatu peraturan perundang-undangan yang lebih komprehensif. Peradilan agama dituntut untuk mengambil peran yang lebih jauh dalam pemenuhan rasa keadilan di masyarakat. Satu hal yang sangat riskan dalam konteks ini adalah masalah ekonomi syari’ah yang penanganannya belum maksimal.
Sebagai diketahui, perkara hukum yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah selama ini ditangani oleh pengadilan negeri yang secara substansial kurang kompeten, mengingat basis pendalaman hukumnya adalah hukum positif, sedangkan perkara ekonomi syari’ah berbasis hukum Islam. Lebih jauh, dewasa ini telah banyak berdiri lembaga-lembaga keuangan syari’ah yang melayani kebutuhan finansial masyarakat, sehingga secara hukum perlu diakomodir dalam lembaga hukum yang kompeten.
Adalah peradilan agama yang kemudian dianggap sebagai lembaga yang representatif dan kompeten dalam menangani perkara ekonomi syari’ah. Ada beberapa alasan yang mendasari hal ini. Pertama, hakim-hakim dalam peradilan agama memiliki pendalaman hukum Islam yang lebih dibandingkan dengan hakim-hakim umum di pengadilan negeri. Meski hal tersebut bukanlah hal yang mutlak, namun paling tidak hal ini dapat digunakan sebagai parameter awal yang memperkuat asumsi bahwa peradilan agama adalah lembaga yang paling representatif mengenai hal ini. Kedua, Pengadilan Agama secara faktual lebih ‘bersih’ dibandingkan dengan Pengadilan Negeri.
Sebagai yang kita ketahui, dalam dinamikanya, lembaga peradilan agama lebih independen dan transparan dibandingkan dengan pengadilan negeri dalam menjalankan otoritasnya. Cukup banyak bukti yang mendukung hal ini. Salah satunya adalah sangat jarang ditemukan penyimpangan aturan yang dilakukan oleh aparat pengadilan agama. Hal ini sangat bertolak belakang dengan kinerja aparat pengadilan negeri yang hampir setiap saat terdengar penyimpangan aturan hukum, antara lain terlihat jelas dalam produk-produk hukum yang dikeluarkan.
Aktualisasi nyata dari pertimbangan-pertimbangan diatas adalah amandemen UU No.7 tahun 1989 menjadi UU No.3 tahun 2006 tentang peradilan agama. Amandemen ini membawa implikasi yang signifikan bagi yurisdiksi peradilan agama. Hal ini ditunjukkan dengan ekspansi wewenang peradilan agama yang dipercayakan untuk menangani perkara-perkara ekonomi syari’ah di masyarakat.
Inilah sesungguhnya yang menjadi substansi lembaga peradilan agama secara yuridis, yaitu menjadi wadah bagi penyelesaian perkara-perkara hukum, terutama bagi umat muslim yang mendambakan keadilan yang hakiki. Segalanya kembali pada lembaga peradilan agama itu sendiri untuk senantiasa menjaga independensinya dan menjadi pilar bagi penegakan supremasi hukum di Indonesia. Pada akhirnya, realitas-lah yang akan membuktikannya
II. Kompetensi Pengadilan Agama dalam Menyelesaikan Perkara Ekonomi Syariah
Amandemen UU No.7 Tahun 1989 menjadi UU No.3 Tahun 2006 berimplikasi secara signifikan bagi institusi pengadilan dalam lingkup Peradilan Agama, khususnya pada konteks kewenangan absolut Pengadilan Agama. Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas memeriksa dan memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
1. perkawinan;
2. waris;
3. wasiat;
4. hibah;
5. wakaf;
6. zakat;
7. infaq;
8. shadaqah; dan
9. ekonomi syariah
Dalam penjelasan pasal I angka 37 pasal 49 huruf i disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilakukan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi:
1. bank syariah;
2. lembaga keuangan mikro syariah;
3. asuransi syariah;
4. reasuransi syariah;
5. reksadana syariah;
6. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah;
7. sekuritas syariah;
8. pembiayaan syariah;
9. pegadaian syariah;
10. dana pensiun lembaga keuangan syariah; dan
11. bisnis syariah
Salah satu pokok persoalan utama mengenai kompetensi Pengadilan Agama ini adalah instrumen hukum acara. Menilik hal ini, pasal 54 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menegaskan bahwa hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkup Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum. Selain itu, hukum acara yang berlaku dalam pengadilan dalam lingkup Peradilan Agama adalah hukum acara perdata Islam sebagai tertuang dalam KHI dan beberapa peraturan lainnya. Ketentuan pasal 54 tersebut dapat dijadikan sebagai dasar hukum pengimplementasian hukum acara perdata umum bagi Pengadilan Agama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ekonomi syariah
Syaifuddin mengemukakan bahwa ketentuan dalam pasal tersebut di atas menegaskan bahwa secara kumulatif, Pengadilan Agama merupakan institusi pengadilan yang memiliki kewenangan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Dalam konteks penyelesaian perkara yang telah diputus oleh Pengadilan Agama, maka tergugat dapat melaksanakan putusan tersebut secara sukarela atau dapat pula melalui eksekusi putusan oleh Pengadilan Agama atas permohonan penggugat apabila tergugat sebagai pihak yang dikalahkan tidak bersedia melaksanakan putusan tersebut secara sukarela. Dengan demikian, menyelesaikan perkara ekonomi syariah melalui eksekusi putusan sebagai kewenangan Pengadilan Agama bersifat opsional, bukan imperatif.
III. Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama
a. Pendaftaran gugatan
Ekonomi syariah merupakan salah satu kewenangan pengadilan dalam lingkup Peradilan Agama. Ekonomi syariah berdasar pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 merupakan salah satu bagian dari perkara perdata Islam yang meliputi 11 bidang usaha.
Pada dasarnya, pendaftaran gugatan untuk perkara ekonomi syariah sama dengan pendaftaran gugatan perkara lainnya. Berikut beberapa tahapan dalam pendaftaran gugatan perkara ekonomi syariah:
1. Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg).
2. Gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama:
a. Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat;
b. Bila tempat kediaman tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat;
3.Bila mengenai benda tetap, maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat. Bila benda tetap tersebut terletak dalam wilayah beberapa Pengadilan Agama, maka gugatan dapat diajukan kepada salah satu Pengadilan Agama yang dipilih oleh penggugat (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg.).
4. Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg. Jo. Pasal 89 UU No.7 Tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R. Bg.).
b. Pemeriksaan perkara dalam persidangan
Setelah gugatan didaftar penggugat di Pengadilan Agama, maka Ketua Pengadilan akan menunjuk majelis hakim yang menyidangkan gugatan tersebut. Proses pemeriksaannya melalui prosedur yang hampir sama dengan penyelesaian gugatan perdata lainnya, yaitu:
1. Pembacaan gugatan;
2. Jawaban tergugat;
3. Replik penggugat;
4. Duplik tergugat;
5. Pembuktian oleh penggugat dan tergugat jika ada dalil gugatan yang dibantah;
6. Kesimpulan penggugat dan tergugat;
7. Musyawarah majelis hakim;
8. Putusan.
Dalam pemeriksaan perkara ekonomi syariah, pada saat sidang pertama sebelum pembacaan gugatan-jika penggugat dan tergugat hadir-,kedua belah pihak diwajibkan untuk melakukan mediasi. Hal ini diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Tempat pelaksanaan mediasi mengacu pada Pasal 20 Perma No.1 Tahun 2008:
1. Mediasi dapat diselenggarakan di salah satu ruang Pengadilan Tingkat Pertama atau di tempat lain yang disepakati oleh para pihak.
2. Mediator hakim tidak boleh menyelenggarakan mediasi di luar pengadilan.
3. Penyelenggaraan mediasi di salah satu ruang Pengadilan Tingkat Pertama tidak dikenakan biaya.
4. Jika para pihak memilih penyelenggaraan mediasi di tempat lain, pembiayaan dibebankan kepada para pihak berdasarkan kesepakatan
Proses mediasi sendiri dilakukan dengan acara pemeriksaan tertutup, kecuali para pihak menghendaki lain. Dalam Perma No.1 Tahun 2008 Pasal 7 disebutkan tentang proses pra mediasi, yaitu:
1. Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi.
2. Ketidakhadiran pihak turut tergugat tidak menghalangi pelaksanaan mediasi.
3. Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.
4. Kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.
5. Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi.
6. Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam Perma ini kepada para pihak yang bersengketa.
c. Implementasi hukum materil
Penyelesaian perkara ekonomi syariah di Pengadilan Agama merupakan implementasi dari pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan Pasal 55 UU No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Selama kurun waktu sekitar 2 tahun, sejak dikeluarkannya UU No.3 Tahun 2006, belum ada peraturan khusus yang mengatur tentang penyelesaian perkara ekonomi syariah serta penerapan hukum materilnya. Pada kurun waktu itu, kontroversi pun merebak pada wilayah hukum materil apa yang seharusnya diterapkan oleh hakim-hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara ekonomi syariah.
Pada 10 September 2008, Mahkamah Agung RI mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). Perma tersebut menjawab kekosongan hukum materil di lingkungan Peradilan Agama dalam penyelesaian perkara ekonomi syariah. Sebagaimana diungkap Mukrim, SH., KHES yang ditetapkan melalui Perma tersebut menjadi pedoman dan/atau landasan bagi para hakim dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ekonomi syariah.
Perma No.2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah memuat beberapa ketentuan, yaitu:
a. Hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syariah, mempergunakan sebagai pedoman prinsip syariah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
b. Mempergunakan sebagai pedoman prinsip syari'ah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah sebagaimana dimaksud ayat (1), tidak mengurangi tanggungjawab hakim untuk menggali dan menemukan hukum untuk menjamin putusan yang adil dan benar.
Dengan ketentuan tersebut, maka KHES merupakan pedoman bagi para hakim dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ekonomi syariah. akan tetapi, sebagaimana digariskan dalam Perma tersebut, hakim tetap dapat mengacu pada kitab-kitab fiqh muamalah yang ada serta melakukan upaya maksimal dalam penemuan hukum, khususnya dalam konteks ekonomi syariah.
d. Eksekusi atas putusan Badan Arbitrase Syariah
Salah satu kewenangan absolut Pengadilan Agama adalah sebagai lembaga pelaksana eksekusi atas putusan Badan Arbitase Syariah. Hal tersebut mulanya banyak diperdebatkan oleh akademisi dan praktisi hukum. Pasal 60 UU No.30 Tahun 1999 menyebutkan:
“Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak”.
Kemudian Pasal 61 menyebutkan:
“Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa”.
Bila diperhatikan ketentuan dalam pasal tersebut, maka akan timbul permasalahan mengenai siapa yang berwenang mengeksekusi putusan Badan Arbitrase Syariah?. Pangkal masalahnya sebenarnya belum adanya regulasi khusus yang mengatur tentang Badan Arbitrase Syariah. Undang-Undang yang ada hanya mengatur tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.
Dalam konteks ini, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.8 Tahun 2008 Tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah. SEMA tersebut dimaksudkan untuk memberi petunjuk teknis sekaligus menjawab polemik yang selama ini merebak di kalangan akademisi dan praktisi hukum mengenai pelaksanaan eksekusi atas putusan Badan Arbitrase Syariah dan pengadilan mana yang berwenang untuk melakukan eksekusi tersebut.
SEMA No.8 Tahun 2008 Angka 4 menyebutkan:
“Dalam hal putusan Badan Arbitrase Syariah tidak dilaksanakan secara sukarela, maka putusan tersebut dilaksanakan berdasarkan perintah ketua Pengadilan yang berwenang atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa, dan oleh karena sesuai dengan Pasal 49 UU No.7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU No.3 Tahun 2006, Pengadilan Agama juga bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah, maka ketua Pengadilan Agama-lah yang berwenang memerintahkan pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syariah”.
Ketentuan tersebut menegaskan bahwa Pengadilan yang berwenang untuk melaksanakan eksekusi atas putusan Badan Arbitrase Syariah adalah Pengadilan Agama. Ketetapan tersebut didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 dan Pasal 55 UU No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Ketentuan ini pada dasarnya merupakan upaya mensinergiskan antara peraturan perundang-undangan yang ada; sebagai upaya untuk menciptakan kepastian hukum.
Mengenai mekanisme pelaksanaan eksekusi atas putusan Badan Arbitrase Syariah, perlu diperhatikan ketentuan dalam Pasal 59 UU No.30 Tahun 1999:
1. Dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera pengadilan Pengadilan Negeri (baca: Pengadilan Agama);
2. Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau dipinggir putusan oleh panitera pengadilan negeri atau arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran;
3. Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada panitera pengadilan negeri;
4. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan;
5. Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaran dibebankan kepada para pihak.
Berdasar ketentuan tersebut, putusan Badan Arbitrase Syariah pada dasarnya baru dapat dilaksanakan setelah tenggat waktu 30 hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan. Dalam hal ini, arbiter atau kuasanya mendaftarkan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada panitera Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal termohon dan membayar biaya perkara.
Setelah permohonan eksekusi didaftar, maka Ketua Pengadilan melaksanakan sidang teguran (aan maning) dengan menghadirkan kedua belah pihak. Dalam sidang tersebut, Ketua Pengadilan Agama mengupayakan (menegur) agar tergugat bersedia melaksanakan putusan Badan Arbitrase syariah secara sukarela. Dalam pemeriksaan ini, Ketua Pengadilan atau majelis tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari Badan Arbitrase Syariah. Sebelum perintah eksekusi dikeluarkan, maka Ketua Pengadilan Agama perlu memperhatikan apakah:
1. Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui Badan Arbitrase Syariah dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani para pihak;
2. Sengketa yang diselesaikan tersebut adalah sengketa di bidang ekonomi syariah dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa;
3. Putusan Badan Arbitrase Syariah tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Perintah eksekusi yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Agama ditulis pada lembar asli dan salinan otentik putusan Badan Arbitrase Syariah yang dikeluarkan. Putusan Badan Arbitrase Syariah yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Agama dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
IV. Bibliografi
Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) Stb. 1941 No.44.
Peraturan Mahkamah Agung RI No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Peraturan Mahkamah Agung RI No.2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
Reglement Buitengewesten (R. Bg.) Stb. No.227 Tahun 1927.
Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.8 Tahun 2008 Tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah.
Syaifuddin. Penyelesaian Sengketa dalam Perbankan Syariah, Suara Uldilag, No.13, Juni 2008.
Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Undang-Undang No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.