Sunday, June 8, 2008

kode etik psikologi versus hukum

M. NATSIR ASNAWI

KODE ETIK PSIKOLOGI VERSUS HUKUM

A. Pengertian Dasar Etika
Bertens (1997:6) mengemukakan bahwa etika memiliki tiga arti dasar. Pertama, etika merupakan nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur setiap tingkah laku yang akan dilakukan. Etika merupakan suatu sistem nilai kesusilaan yang mengatur dan mengikat seseorang atau suatu kelompok untuk menciptakan suasana yang selaras dalam dinamika sehari-hari. Kedua, etika merupakan kumpulan asas atau nilai moral. Asas atau nilai moral yang dimaksud adalah kode etik. Ketiga, etika merupakan ilmu tentang hal-hal yang dianggap baik dan buruk. Etika dapat dikatakan sebagai ilmu jika kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) diterima dalam masyarakat menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika dalam konteks ini disebut dengan filsafat moral.
B. Etika Profesi
Etika profesi disusun untuk mengatur tingkah laku moral suatu kelompok khusus dalam masyarakat melalui ketentuan-ketentuan tertulis yang diharapkan akan dipatuhi oleh seluruh anggota kelompok tersebut. Profesi adalah suatu moral community yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Mereka yang membentuk suatu profesi disatukan karena latar belakang pendidikan yang sama dan bersama-sama memiliki keahlian yang eksklusif. Profesi menjadi suatu kelompok yang memiliki kekuasaan spesifik dan memiliki tanggung jawab yang spesifik pula. Eksistensi kode etik menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap suatu profesi dapat diperkuat karena setiap klien mempunyai kepastian bahwa kepentingannya akan terjamin dengan baik.
Etika terapan memegang peranan penting dalam mempertahankan mutu suatu profesi. Kode etik dapat dilihat sebagai produk etika terapan sebab dihasilkan dari pemikiran etis atas suatu wilayah profesi tertentu. Kode etik harus dibuat oleh orang-orang dalam suatu profesi tertentu. Hal ini bertujuan untuk menjamin kredibilitas dan akuntabilitas materi kode etik yang akan dibuat (Bertens, 1997:280-282).
C. Kode Etik Psikologi Versus Hukum
Dalam konteks psikologi klinis, seorang psikolog klinis dituntut untuk profesional dan memberikan layanan prima kepada klien. Psikolog klinis harus memperhatikan dengan baik kepentingan kliennya dan merahasiakan data-data pribadi dan keterangan-keterangan lain yang berkaitan dengan kondisi internal pasien. Etika profesi merupakan nilai-nilai normatif yang harus ditaati oleh seorang psikolog klinis.
Profesi psikolog klinis harus dijalankan sesuai dengan kode etik profesi psikologi. Kode etik mengatur hal-hal yang patut dan tidak patut dilakukan oleh seorang psikolog, terutama psikolog klinis. Salah satu substansi yang cukup signifikan dalam kode etik psikologi adalah ketentuan mengenai kerahasiaan data dan hasil pemeriksaan.
Kode etik pasal 12 menyebutkan bahwa ilmuwan psikologi dan psikolog wajib memegang teguh rahasia yang menyangkut klien atau pemakai jasa psikologi dalam hubungan dengan pelaksanaan kegiatannya. Dalam hal ini, keterangan atau data mengenai klien yang diperoleh lmuwan psikologi dan psikolog dalam rangka pemberian jasa/praktik psikologi wajib mematuhi beberapa hal, yaitu:
1.Dapat diberikan hanya kepada yang berwenang mengetahuinya dan hanya memuat hal-hal yang langsung dan berkaitan dengan tujuan pemberian jasa/praktik psikologi.
2.Dapat didiskusikan hanya dengan orang-orang atau pihak yang secara langsung berwenang atas klien atau pemakai jasa psikologi.
3.Dapat dikomunikasikan dengan bijaksana secara lisan atau tertulis kepada pihak ketiga hanya jika pemberitahuan tersebut diperlukan untuk kepentingan klien, profesi, dan akademisi. Dalam kondisi tersebut, identitas orang atau klien yang bersangkutan tetap dirahasiakan.
4. Keterangan atau data klien dapat diberitahukan kepada orang lain atas persetujuan klien atau penasehat hukumnya.
5.Jika klien masih kanak-kanak atau orang dewasa yang tidak mampu untuk memberikan persetujuan secara sukarela, maka psikolog wajib melindungi orang-orang tersebut agar tidak mengalami hal-hal yang merugikan.
Dalam konteks hukum, seorang psikolog klinis dapat menjadi saksi dalam penyidikan maupun pemeriksaan perkara pidana di pengadilan. Psikolog klinis yang menjadi saksi dalam pemeriksaan suatu perkara di pengadilan harus mengucapkan sumpah terlebih dahulu sebagai syarat keabsahan kesaksian yang akan diungkapkan (Pasal 160 (3) KUHAP). Ketentuan ini mengikat psikolog untuk memaparkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan baik oleh hakim, penuntut umum, maupun penasehat hukum terdakwa. Dalam memberikan keterangan, psikolog yang menjadi saksi harus mengungkap data-data yang dibutuhkan dalam pemeriksaan, termasuk kondisi internal terdakwa jika hal tersebut sangat dibutuhkan untuk melakukan pembuktian dalam persidangan.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 179 (1) menegaskan bahwa setiap orang yang ahli dalam bidang tertentu wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. Keterangan yang diberikan merupakan keterangan yang sebenarnya dan diungkap dengan bahasa yang jelas sehingga keterangan tersebut dapat membantu hakim, penuntut umum, maupun penasehat hukum untuk mengambil pertimbangan hukum yang paling bijaksana.
Keterangan yang diberikan oleh saksi ahli, termasuk psikolog klinis dalam pemeriksaan persidangan memiliki tujuan lain selain dari tujuan pembuktian. Keterangan psikolog klinis sering dibutuhkan untuk mengetahui sejauh mana kecakapan seseorang dalam mengambil tindakan hukum sendiri. Keterangan yang diberikan dapat berupa identitas terdakwa yang merupakan kliennya sendiri, kondisi psikologis klien, perkembangan mental, dan keterangan-keterangan lain yang dibutuhkan untuk mengungkap lebih jauh kasus yang sedang diperiksa dalam persidangan. Keterangan yang diberikan sangat membantu hakim untuk memberikan keputusan terbaik mengenai beratnya hukuman yang akan diberikan kepada terdakwa. Dalam konteks hukum pidana, berta ringannya hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa salah satunya ditentukan oleh kondisi internal terdakwa, misalnya kesehatan mental terdakwa, situasi ketika terdakwa melakukan delik tertentu, serta motif terdakwa melakukan tindak pidana tertentu.
Berdasar pemaparan tersebut, sepintas tampak terjadi dikotomi antara kode etik psikologi dengan aturan normatif dalam KUHAP. Dalam konteks tertentu, psikolog klinis dituntut untuk merahasiakan data kliennya, namun dalam konteks lain, psikolog klinis yang menjadi saksi ahli dituntut untuk mengungkap hal-hal yang dianggap penting dalam proses pembuktian di persidangan, termasuk hal-hal yang secara personal menyangkut keadaan internal kliennya. Pertanyaan sekarang adalah, apakah dikotomi kedua sistem norma tersebut tidak dapat disatukan? Apakah materi kedua norma tersebut senantiasa menjadi realitas yang paradoks?.
Bila menganalisis masalah ini lebih jauh, maka aturan-aturan dalam konstitusi harus senantiasa didahulukan demi kepentingan keadilan. Hal tersebut sesuai dengan salah satu asas hukum yang dianut di Indonesia yang menyebutkan “Lex superior legi imperior”, artinya peraturan yang lebih tinggi didahulukan dari peraturan yang lebih rendah. Konteks KUHAP adalah seluruh masyarakat dalam wilayah hukum Indonesia, sedangkan Kode Etik Psikologi hanya komunitas tertentu, yaitu psikolog dan ilmuwan psikologi. Karena itu, secara yuridis, psikolog klinis harus mengungkap data-data dan keterangan yang diperlukan sehingga membantu proses pembuktian dalam persidangan.
Bibliografi
Bertens, K. 1997. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kode Etik Psikologi.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

About This Blog

About This Blog

  © Blogger template Brooklyn by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP