kesiapan hakim pengadilan agama menangani sengketa ekonomi syariah
Amandemen UU No.7 tahun 1989 menjadi UU No.3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama membawa perubahan signifikan pada institusi pengadilan agama. Kewenangan pengadilan agama bertambah dari sebelumnya hanya menangani perkara-perkara sumir -sebagian besar masalah perceraian- kini dihadapkan pada perkara-perkara ekonomi syari’ah yang relatif baru dalam dunia ekonomi Indonesia. Perkara ekonomi syariah merupakan perkara yang memiliki spesifikasi tersendiri dibanding perkara-perkara perdata ke-Islam-an lainnya. Lahirnya UU No. 3 Tahun tentang Peradilan Agama adalah suatu konsekuensi logis dari pemberlakuan konsep “satu atap dalam pembinaan lembaga Peradilan di bawah Mahkamah Agung RI” atau yang biasa dikenal dengan istilah “One roof system”, sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung RI
Kewenangan pengadilan agama untuk menangani sengketa ekonomi syariah tercantum dalam pasal 49 UU No.3 tahun 2006, ‘Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah’. Materi pasal ini secara tegas mengamanahkan kepada institusi pengadilan agama untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara ekonomi syariah diantara orang-orang beragama Islam.
Salah satu polemik yang alot diperbincangkan oleh berbagai pihak, mulai dari akademisi, praktisi hukum, praktisi perbankan, hingga masyarakat awam adalah sejauhmana kesiapan hakim-hakim pengadilan agama untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara ekonomi syariah?. Pasalnya, beberapa pihak menilai bahwa hakim pengadilan agama tidak siap untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah karena selama ini mereka hanya menangani perkara-perkara sumir. Sebagai diketahui, penyelesaian sengketa ekonomi syariah sebelum adanya amandemen dilakukan di Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basayarnas) dan Pengadilan Negeri.
Penyelesaian sengketa ekonomi syariah juga memiliki mekanisme yang lebih spesifik dibanding perkara-perkara sumir yang selama ini ditangani oleh pengadilan agama. Tidak sedikit pihak yang kemudian ragu apakah hakim pengadilan agama siap dan memiliki kompetensi yang tinggi untuk menangani perkara ekonomi syariah. Keraguan ini cukup beralasan karena penetapan UU No.3 tahun 2006 yang mengatur kewenangan pengadilan agama untuk menangani perkara ekonomi syariah dianggap kurang perencanaan yang matang, paling tidak karena beberapa hal. Pertama, perluasan kewenangan pengadilan agama tidak disertai dengan perangkat peraturan pendukung yang signifikan mengenai mekanisme beracara dalam perkara ekonomi syariah serta mekanisme pemeriksaan dan penyelesaian perkara ekonomi syariah. Kedua, banyak hakim pengadilan agama belum mendapatkan pengkajian massif mengenai ekonomi syariah, baik di lingkungan akademik maupun di institusi pengadilan agama itu sendiri.